MANAQIB YMM AYAHANDA GURU KADIRUN YAHYA MUHAMMAD AMIN AL KHALIDI AN NAQSABANDI QS

MANAQIB YMM AYAHANDA
GURU KADIRUN YAHYA MUHAMMAD AMIN AL KHALIDI AN NAQSABANDI QS



NAPAK TILAS Ayahanda Guru Prof. Dr. Saidi Syekh Kadirun Yahya MA. M.Sc



Ayahanda Guru di masa muda (33 tahun)

 



BISMILLAHIRROHMANIRROHIIM



 Dengan terlebih dahulu
mengucapkan Astaghfirullah al’aziim yang sedalam-salamnya, serta membaca Al
Fatihah dan Qulhu atau surat Al Ikhlas yang dihadiahkan kepada rohaniah
silsilah Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah serta diiringi pula dengan shalawat
dan salam kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, maka saya beranikan diri
untuk menulis risalah yang saya anggap sangat berharga ini, untuk memnuhi
permintaan dari saudara-saudara seperamalan saja yang diberi judul NAPAK TILAS…



Dengan tidak
melupakan sifat ’ubudiyah atau sifat kehambaan, hina, papa, daif dan lemah saya
pandang diri saya sekecil-kecilnya sehingga menjadi nol kosong melompong yang
menurut hemat kami tidaklah bernilai sebesar rambut dibelah tujuh pada sisi
Allah SWT, Rasul dan Aulia-Nya. Sangat miskin hatinya daripada ilmu-ilmu dan
amal dan jauh sekali daripada kesempurnaan adab yang menjadi pokok utama di
dalam mengabdikan diri kepada Allah SWT.



Dikarenakan oleh
hal-hal yang saya uraikan di atas dengan penuh kerendahan hati, terlebih dahulu
saya memohon maaf yang sebesar-besarnya keharibaan Ayahanda Guru, sekira
tulisan kami ini tidak berkenan di hati Ayahanda Guru, tidak tepat sasarannya,
kurang lengkap keterangannya dan lain sebagainya, karena maklumlah sesuai pula
dengan pepatah orang tua kita ”Dek Lamo Lupo, Dek Banyak Ragu”



Sesuai dengan judul
Risalah ini, maka saya mulailah menguraikan apa-apa yang langsung saya ketahui
dan mendengarkan sebagai berikut:



Pada tahun 1947 yang
bulan, hari dan tanggalnya tidak teringat lagi, Nenek Guru H.SS Muhammad Hasyim
Al Khalidi bersama saya (Anwar Rangkayo Sati) sebagai murid atau Khadam beliau,
berangkat dengan bus umum dari Sawah Lunto ke Bukit Tinggi dengan maksud dan
tujuan menemui salah seorang murid beliau yang tergolong intelek yaitu Sdr.
Zyauddin Sahib, jabatannya sebagai kepala kantor pos besar di Bukit Tinggi.



Bahwa Sdr. Zyauddin
Sahib pada waktu itu mendapat musibah, mertua lelaki beliau meninggal dunia dan
jenazahnya dibawa ke rumah tempat tinggalnya Sdr. Zyauddin Sahib di lorong
Saudagar No. 46 A pasar Atas bukit tinggi. Jadi kedatangan YMM Nenek guru
memperlihatkan hati yang duka, muka yang sabak turut belasungkawa yang
sedalam-dalamnya atas musibah yang menimpa diri Sdr. Zyauddin Sahib.



Sdr. Zyauddin Sahib
jauh sebelumnya telah lama berkenalan dengan Bp. Kadirun Yahya M.A, guru SPMA
dan bertempat tinggal di Aur Tajungkang Bukit Tinggi. Di samping jabatan beliau
sebagai guru SPMA, beliau pun merangkap sebagai perwira menengah dengan pangkat
Mayor pada komandemen Divisi IX Banteng Sumatra bagian persenjataan dan kami
melazimkan memanggil beliau waktu itu Pak Mayor. Diangkatnya beliau sebagai
perwira menengah bagian persenjataan dikarenakan beliau adalah ahli kimia.
Sekarang beliau telah memperoleh gelar dan untuk lebih lengkapnya disebut Prof.
Dr. Haji Saidi Syekh Yahya Muhammad Amin. Dalam kesempatan beberapa hari Nenek
guru berada di rumah Sdr. Zyauddin Sahib, beliau mengajak teman beliau yaitu
Bp. Kadirun Yahya MA bertemu muka dengan Nenek Guru dan kesempatan baik ini
dimanfaatkan oleh beliau dan beliau berulangkali datang berbincang-bincang dan
berceramah kaji tasawuf dengan Nenek Guru.



Ayahanda Masuk Tarekat



Pada suatu hari, kalau kami tak salah bertepatan dengan petang Kamis malam
Jum’at Sdr. Zyauddin Sahib memohon kepada Nenek Guru berkenan mengadakan wirid
tawajuh pada hari tersebut. Permintaan Sdr. Zyauddin Sahib diperkenankan oleh
Nenek Guru. Lalu beliau dengan segera menemui teman-temannya mengajak datang ke
rumahnya untuk ikut bertawajuh. Teman-teman yang ditemui:



1.      Sdr. Ghulam Gaus yang
menghubungkan Sdr. Zyauddin Sahib dengan  Nenek Guru di rumah Ibu
Saimah di Bukit Tinggi Apit No. 13 Bukit Tinggi



2.      Bp. Kadirun Yahya MA



Selesai shalat Isya’ yang langsung diimani oleh Nenek Guru, maka tawajuh
pun segera akan dimulai. Sdr. Ghulam Gaus tidak lagi datang dan hadir hanya
kami 4 (empat) orang, yaitu Nenek Guru, saya sendiri (Anwar Rangkayo Sati), Zyauddin
Sahib dan Ayahanda Guru.



Anehnya Ayahanda Guru belum lagi dibaiat masuk Thariqat Naqsyabandiyah,
telah diizinkan ikut bertawajuh dan sebelum tawajuh dimulai, saya bisikkanlah
dahulu secara ringkas sekali kepada Ayahanda Guru apa yang akan diamalkan
selama bertawajuh.



Selesai bertawajuh yang lamanya + setengah jam, lalu
Ayahanda Guru menyampaikan perasaan atau pengalaman yang beliau alami selama
bertawajuh tersebut kepada Nenek Guru, lalu Nenek Guru menjawab dengan singkat
dan padat : ”Masuk Thariqat …!”.



Saya jadi bertanya-tanya di dalam hati saya, mengapa Ayahanda Guru belum
lagi dibaiat masuk Thariqat Naqsyabandiyah kok sudah diijinkan ikut tawajuh.
Sedangkan selama ini belum pernah kejadian. Rupanya kasus pada Ayahanda Guru
ada keistimewaan dari Nenek Guru. Tentu ada hikmah yang terkandung, bak pepatah
mengatakan : ”Kalau tidak ada berada, tidaklah tempua bersarang rendah”.



Akan saya tanyakan langsung kepada Nenek Guru, saya takut kalau-kalau salah
menurut adab, lalu saya tafakkur dan merenungkannya secara mendalam. Akhirul
kalam … berkat syafaat Nenek Guru, terbukalah hijab saya dan saya bacalah yang
tersiratnya, apa yang dibalik keistimewaan yang diberikan Nenek Guru kepada
Ayahanda Guru. Nenek Guru berkata kepada Ayahanda Guru, ”
Kapan saja anak datang untuk
bersuluk akan saya layani walaupun Cuma satu orang
” dan janji itu Beliau penuhi di
kemudian hari ketika Ayahanda Guru pertama sekali ikut suluk



Kesimpulannya adalah sbb :



Kedatangan Nenek Guru ke Bukit Tinggi secara lahiriah menemui Sdr. Zyauddin
Sahib yang sedang mendapat musibah, tetapi secara hakikinya bertemu dan menemui
salah seorang yang bakal menjadi ulama intelek, ahli sufi, besar dan ulung,
yang lengkap ilmu pengetahuannya baik dunia maupun akhirat yang akan menjadi
penyambung, penerus, dan pewaris dari silsilah Tharikatullah ’Ubudiyah
Naksyabandiyah Khalidiyah yang berpusat di Jabbal Qubaisy Mekkah yang cocok
pula dengan jamannya, yaitu zaman mutakhir, zaman teknologi modern yang akan
menjadi ikutan bagi para mahasiswa, para sarjana, para intelektuil, para
pejabat pemerintah baik sipil maupun ABRI, dan lain-lain. Orang tersebut tak
lain adalah Ayahanda Guru Prof. Dr.H.SS. Kadirun Yahya MA, Msc, Rektor
Universitas Pembangunan Panca Budi Medan.



Tidaklah berkelebihan rasanya saya sampaikan dalam risalah singkat ini,
keistimewaan-keistimewaan lainnya yang diberikan oleh Nenek Guru kepada
Ayahanda Guru, untuk lebih menguatkan hasil renungan saya tersebut di atas, dan
keistimewaan-keistimewaan lainnya tersebut akan menyusul pada lanjutan risalah
ini.



Pada tahun 1947 itu juga setelah Nenek Guru kembali ke Sawah Lunto,
datanglah Ayahanda Guru ke rumah Ibu Saimah di Bukit Apit No. 13 Bukit Tinggu
untuk masuk thariqat. Ibu Saimah sekarang sudah almarhum (wafat tgl.
21-12-1985) adalah keponakan kandung Nenek Guru. Pada waktu sebelum Nenek Guru
naik haji ke Mekkah tahun 1918 dan dibuang ke Boven Digoel tahun 1928-1932,
almarhumah Ibu Saimah selalu berada di samping Nenek Guru dan ke mana saja
Nenek Guru bepergian selalu dibawa dan beliau bertemu dengan Ompung Hutapungkut
(Maulana H. SS Sulaiman) Guru Nenek Muhammad Hasyim dan Ayah Nenek Syekh
Muhammad Baqi. Ayahanda Guru masuk thariqat dipimpin langsung oleh kalifah
Nenek Guru, yaitu Inyiak Gadang (Almarhum). Alm Inyiak Gadang semasa hayat
beliau, di samping sebagai khalifah Nenek Guru, juga sebagai seorang pendekar
ulung yang sangat ditakuti dan disegani oleh masyarakat pada waktu itu, karena
Nenek Guru juga seorang pendekar ulung, jago silat kawakan yang tak ada tolok
bandingnya.



Setelah selesai Ayahanda Guru masuk thariqat, sesuai pula dengan situasi
keamanan waktu itu, dengan bercokolnya pemerintah kolonial Belanda di kota
Padang dan membunuh wali kota Padang Bagindo Aziz Chan, di samping kesibukan
Ayahanda Guru dengan tugas-tugas Beliau utama sekali sebagai perwira menengah
bagian persenjataan maka secara zahir Beliau boleh dikatakan belum dapat
berulang menemui Nenek Guru ke Sawah Lunto.



Pada waktu itu Pemerintah Kolonial Belanda menduduki kota Padang dan sesuai
dengan perjanjian Linggarjati, daerah pendudukannya hanya sampai dekat lintasan
kereta api di Tabing + 7 km dari pusat kota Padang. Kemudian
Belanda mengkhianati perjanjian Linggarjati dan bulan Juli 1947 dibunuhnya
walikota Padang Bagindo Aziz Chan dan mereka melakukan serangan lagi sampai
diadakannya pula perjanjian yang kedua yang disebut perjanjian Renville dan
daerah pendudukannya berbatas di Batang Tapakis Kec. Lubuk Alung Kab. Padang /
Pariaman.



Karena Belanda sangat berhasrat sekali hendak mengulangi kembali
penjajahannya di bumi persada Indonesia yang kita cintai ini, maka kembali
Belanda berkhianat melakukan serangan terhadap RI yang telah diproklamirkan
pada 17 Agustus 1945 yang disebut pada waktu itu Agresi Belanda Kedua yang
dimulai pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 dan Belanda waktu itu telah
mendarat dengan pesawat Catalina di Danau Singkarak.



Pada hari Kamis tanggal 23-12-1948 dengan mengambil langkah pada 08.30 pagi
WSU (sekarang jam 09.00) mulailah Nenek Guru meninggalkan kota Sawah Lunto
bersama anak-anak dan istri dan salah seorang di antaranya termasuk saya,
berdarurat ke daerah pedalaman RI yaitu ke Nagari Lunto Kecamatan Sawah Lunto
Kabupaten Sawah Lunto (Sijunjung). Di negeri ini banyak pengikut Nenek Guru, di
antaranya yang telah dituakan :



1.      Khalifah Jini Gelar Lenggang



2.      Khalifah Bakar Gelar Karib Sutan



3.      Khalifah H. Abd. Rauf



Ketiga Khalifah tersebut kenal baik dengan Ayahanda Guru dan sama-sama
suluk pada suluk pertama Ayahanda Guru dengan Nenek Guru di Alkah Nenek Guru di
Kubang Sirakuk Sawah Lunto tahun 1950.



Ayahanda Guru beserta keluarga meninggalkan kota Bukit Tinggi berdarurat ke
daerah pedalaman RI dalam daerah Kabutapaten Agam, Kabupaten Lima Puluh Kota,
dan Kabupaten Tanah Datar.



Menurut cerita yang saya dengar langsung dari Ayahanda Guru, bahwa Beliau
selama berdarurat selalu suluk-suluk saja atau berkhalwat dan setiap
tentara-tentara Belanda sampai ke tempat Ayahanda Guru, mereka hanya melihat
hutan belukar saja. Begitu juga dari Nenek Guru saya dengar pula kalau tentara
Belanda sudah sampai ke Pondok Nenek Guru, mereka melihat lautan yang sangat
luas.



Memperhatikan kejadian-kejadian tersebut di atas, jelas bagi kita bahwa
kedua Beliau-Beliau tersebut di atas adalah ahli/kekasih Allah SWT yang selalu
dilindungi dan mendapat perlindungan dari Allah Yang Maha Kuasa, Maha akbar,
Maha Agung, dan Maha Suci, begitu juga bagi mereka yang selalu berhampiran dan
selalu kontak dengan Beliau akan selalu dilindungi dan mendapatkan perlindungan
sesuai dengan fatwa Nenek Guru ”Barang dihampiri diperoleh”.



Selama tidak berjumpa dengan Nenek Guru, Ayahanda Guru sangat rajin
mengamalkan zikir ismu zat karena memang hanya zikir itulah
yang beliau terima dari Nenek Guru. Suatu saat Ayahanda Guru sampai ke sebuah
surau tua dan disitu beliau beramal dalam waktu lama. Kebetulan juga di surau
itu ada seorang syekh beserta 12 muridnya ikut berzikir disitu. Syekh tersebut
berzikir di kubah sedangkan Ayahanda Guru berzikir di samping surau.



Kemudian Syekh tersebut meminta Ayahanda Guru memimpin suluk, tentu saja
tawaran tersebut Beliau tolak secara halus karena memang saat itu Beliau tidak
mengerti sama sekali tentang ilmu suluk. Ayahanda Guru berkata, ”Saya tidak
berani, silahkan tuan musyawarahkan dengan  Guru saya (syekh Hasyim)
kalau Beliau mengizinkan maka saya berani melaksanakannya”. Kemudian Syekh
tersebut berkomunikasi secara rohani dengan Nenek Guru, 3 hari kemudian syekh
tersebut datang dan berkata, ”udah boleh engku mudo, udah boleh!” 



Dalam suluk Syekh tersebut berkata, ”Hai engku mudo tolong tawajuhkan
murid den ko (Hai anak muda tolong tawajuhkan murid aku ini)
”. Pada waktu
itu Ayahanda Guru belum lagi diangkat jadi khalifah bahkan suluk pun belum
pernah sehingga Beliau bingung bagaimana harus melaksanakan sesuatu yang belum
diajarkan. Akhirnya Ayahanda Guru menawajuhkan murid-murid Syekh tersebut namun
karena seluruh energi zikir ditumpahkan maka seluruh yang ditawajuhkan itu
pingsan. Selesai tawajuh Ayahanda Guru orang yang pingsan, ajaibnya seluruh
yang pingsan sadar kembali. Pada waktu itu Ayahanda Guru masih berumur 33
tahun. Penomena ini sangat luar biasa, 
belum khalifah sudah menawajuhkan.



Kemudian rombongan syekh beserta murid-murid nya pindah ke kampung lain
termasuk Ayahanda Guru ikut juga dan tersiarlah kabar akan diadakan suluk lagi,
kebetulan saat itu datang bulan puasa maka berbondong-bondong orang kampung
ikut suluk. Masyarakat kampung meminta Ayahanda Guru untuk menyulukkan mereka
namun Ayahanda Guru tidak menerima permintaan itu dan Ayahanda Guru tinggal
disebuah surau dan zikr sendiri. Kemudian orang kampung datang kembali kepada
Beliau meminta untuk ikut suluk akhirnya Beliau penuhi dan pada saat itu banyak
pula syekh-syekh yang datang ikut suluk dengan Beliau dan Para Syekh mengakui
bahwa suluk yang dipimpin oleh Ayahanda Guru sangat luar biasa.



Suluk Dengan Syekh Abdul Majid





Setelah kejadian itu (memimpin suluk sebelum ikut suluk) maka Ayahanda Guru
merasa bersalah dan dalam hati Beliau berkata, ”Ah tidak benar aku ini,
bagaimana aku harus mempertanggung jawabkan semua ini kepada Guruku dan Allah?
”.
Akhirnya Beliau memutuskan untuk mencari seorang Syekh yang ahli tentang
tasawuf untuk menanyakan hal-hal mengenai suluk sekaligus melaporkan apa yang
telah Beliau kerjakan. Pada waktu Ayahanda Guru sampai dalam daerah Kabupaten
Tanah Datar, Beliau bertemu dengan Syekh Abdul Majid (juga ahli tasawuf) murid
dari Syekh Busthami yang terkenal dengan kekeramatannya. Jauh hari sebelum
Ayahanda datang Syekh Busthami memberikan nasehat kepada Syekh Abdul Majid



Hai Majid, 30 tahun engkau menjadi Syekh akan datang kepadamu seorang
anak muda yang akan meminta suluk kepada engkau, engkau akan memberikan ijazah
kepada dia



Dan ternyata anak muda yang dimaksud tidak lain adalah Ayahanda Guru
sendiri yang sudah 30 tahun dinantikan oleh Syekh Abdul Majid.



Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh” Ayahanda Guru memberi
salam kepada Syekh Abdul Majid ketika pertama sekali bertemu.



Ya Tuan Syekh, saya mohon disulukkan, saya sudah menyulukkan tapi
rasanya tidak bertanggung jawab, mohon kami disulukkan



Syekh Abdul Majid berkata dalam bahasa Padang: ”oh indak begitu doh,
awak suluk menyulukkan
” maksudnya, ”Tidak begitu, kita ini saling suluk
menyulukkan
”. ”Saya tidak mau menyulukkan tuan tapi diantara kita saling
suluk menyulukkan”, 
maksudnya antara Syekh Abdul Majid dengan Ayahanda
Guru saling memimpin suluk.



Mula-mula Ayahanda Guru menganggap ucapan itu hanya gurauan atau basa basi,
ketika jamaah suluk sudah berkumpul Syekh Abdul Majid mempersilahkan Ayahanda
Guru untuk zikir dalam satu kelambu barulah Ayahanda Guru menyadari kalau
ucapan ”Kita ini saling suluk menyulukkan” adalah ucapan yang serius dan
dalam pandangan Syekh Abdul Majid kedudukan rohani Ayahanda Guru sudah
sedemikian tingginya walaupun secara zahirnya belum pernah ikut suluk.. Ada
kejadian menarik dan lucu yang sering kali diceritakan oleh Ayahanda Guru
tentang suluk dengan Syekh Abdul Majid, berikut saya kutip:



Di dalam kelambu itu kalau berzikir duduk berdua seperti orang
mendayung sampan, ketika tidur kaki saya ke kepala Beliau (Syekh Abdul Majid)
dan begitu juga sebaliknya, awak anak muda yang lasak baru berumur 33
tahun  sedangkan Beliau orang tua yang jinak, waktu tidur bergulung
badannya. Sesudah 3 hari ujung kaki saya masuk ke hidungnya….



Setelah kejadian itu, Ayahanda Guru merasa bersalah dan meminta izin kepada
Syekh Abdul Majid untuk berzikir di tempat yang lain.



Abuya, tidak usah lah saya zikir satu kelambu dengan Buya, saya ini
kalau tidur lasak, masak kepala Buya saya tendang, salah hadap saya ini, mohon
diberi tempat lain untuk saya



”Kalau begitu, jadilah”kata Syekh Abdul Majid.



Syekh Abdul Majid memberikan tempat zikir kepada Ayahanda Guru dibawah
tempat biasa Beliau berzikir sedangkan Beliau tetap berzikir di atas ditempat
biasa. Selama suluk itu banyak terjadi keajaiban, Ayahanda Guru berzikir selama
3 hari 3 malam tanpa keluar dari kelambu, tidak mandi, tidak  makan
dan tidak minum sedikitpun. Syekh Abdul Majid terus memimpin suluk sedangkan
Ayahanda Guru tetap zikir sendiri. Setelah 3 hari Syekh Abdul Majid mandi,
selesai mandi kebetulan Ayahanda Guru juga keluar, ketika bertemu dengan
Ayahanda Guru, Syekh Abdul Majid berkata, ”Abuya, setelah ini saya tidak
boleh memimpin suluk lagi”.
 Ayahanda Guru terkejut karena Syekh Abdul
Majid memanggilnya ”Abuya” kepada Beliau, sebuah panggilan kehormatan
untuk para ulama yang dihormati, ucapan itu lebih cocok dari Ayahanda Guru
kepada Syekh Abdul Majid.



Ayahanda Guru bertanya, ”Jadi siapa yang akan memimpin suluk ini?”



Abuya” jawab Syekh Abdul
Majid                    



Ayahanda Guru agak sedikit bingung, kenapa dipertengahan suluk Syekh Abdul
Majid menyerahkan kepemimpinan suluk kepada Beliau padahal tujuan Ayahanda Guru
menemui Syekh Abdul Majid adalah untuk ikut suluk.



Janganlah saya, saya tidak pengelaman tentang suluk” jawab Ayahanda
Guru menolak tawaran Syekh Abdul Majid.



Oh tidak boleh saya lagi, nanti dihantam saya” kata Syekh Abdul
Majid



Nanti siapa yang mentawajuhkan Jama’ah” Kata Ayahanda



Buya semua, termasuk saya ini mohon ditawajuhkan” Jawab Syekh Abdul
Majid



Ayahada Guru kembali menolak, tidak mungkin mentawajuhkan (mendoakan) orang
yang sudah berumur 105 dan telah lama menjadi Syekh.



Ah tidak mau saya mentawajuhkan Buya, durhaka saya nanti” kata
Ayahada Guru.



Tidak lah, harus ditawajuhkan, ini perintah dari ATAS” kata Syekh
Abdul Majid. Akhirnya Ayanda Guru memenuhi permintaan dari Syekh Abdul Majid untuk
memimpin suluk. Syekh Abdul Majid mengalami gangguan pada matanya, namun
setelah di tawajuhkan oleh Ayahanda Guru mata nya kembali sembuh. Sehingga
kelak Syekh Abdul Majid pernah berkata kepada salah seorang murid dari Ayahanda
Guru ketika berkunjung ke tempat Beliau, ”Guru mu itu sangat luar biasa,
saya ini sembuh berkat syafaat dari Gurumu, jangan pernah kalian menggantikan
Gurumu dengan yang lain



Kebetulan Suluk itu berlangsung pada bulan Zulhijah (suluk Haji) dan ditutp
satu hari sebelum Hari Raya. Syekh Abdul Majid di akhir
suluk  memberikan sebuah Ijazah yang istimewa kepada Ayahanda Guru.
Disebut istimewa kerena selama ini Syekh Syekh Abdul Majid tidak pernah
memberikan satupun ijazah kepada orang lain. Kebetulan pula Syekh Abdul Majid
adalah seorang yang buta huruf tidak pandai menulis dan membaca. Tapi anehnya
malam itu Syekh Abdul Majid menulis ijazah dengan huruf yang sangat bagus dan
didalam ijazahnya tertulis keistimewaan-keistimewaan Ayahanda Guru.



 




Ikut Suluk dengan Nenek Guru



Walaupun telah mendapat Ijazah dari Syekh Abdul Majid namun dalam hati
Ayahanda Guru belum puas, dari Guru nya Syekh Muhamamad Hasyim Buayan belum
sempat diberikan Kayfiyat, meminta suluk kepada Syekh Abdul Majid malah disuruh
memimpin suluk. Akhirnya Ayahanda Guru memutuskan untuk menemui Nenek Guru
(Syekh Muhammad Hasyim) untuk meminta ikut suluk.



Saat itu kebetulan menjelang Ramadhan tahun 1950 dan Nenek Guru sudah
memutuskan dan mengumumkan kepada seluruh muridnya bahwa pada bulan Ramadhan
kali ini tidak diadakan suluk dikarenakan ada hal-hal yang teramat berat yang
tidak bisa diberitakan oleh Nenek Guru. Ketika Ayahanda Guru datang dan meminta
izin untuk suluk Nenek Guru terkejut, satu sisi Beliau sudah memutuskan untuk
tidak suluk namun disisi lain Nenek Guru telah berjanji kepada Ayahanda Guru
kalau kapan saja datang ke tempat Beliau akan diadakan suluk walau cuma satu
orang. Akhirnya Nenek Guru memenangkan janjinya dan membuka suluk. Sebelum
suluk dimulai Ayahanda Guru menyerahkan ijazah yang diberikan oleh Syekh Abdul
Majid kepada Nenek Guru dan Nenek Guru menerimanya.



Suluk Pertama itu Ayahanda Guru langsung diangkat menjadi Khalifah dan
Nenek Guru berkata kepada, ”Lihatlah itu, pelajarilah itu”. Maksudnya
lihatlah apa yang dilakukan dalam suluk, lihatlah  cara memasak, cara
membangunin jama’ah, mengatur jama’ah, menghidang dan lain sebagainya tidak
pernah diajarkan kepada Ayahanda Guru cara zikir bahkan kifiyat pun tidak
pernah diajarkan oleh Nenek Guru.



Itulah pertama kali Ayahanda Guru ikut serta suluk dengan Nenek Guru.
Selama Suluk tersebut, Ayahanda Guru sangat kuat sekali beramal, betul-betul
Beliau laksanakan adab yang 21 dan secara jujur kami akui, bahwa kami yang jauh
lebih dahulu berguru dengan Nenek Guru tak sanggup mengikuti ketekunan Beliau
dan kami menghaturkan salut yang setinggi-tingginya kepada Beliau. Pada suluk
yang pertama kali itulah saya melihat dan mengetahui keistimewaan yang kedua
kalinya diberikan Nenek Guru kepada Ayahanda Guru yaitu memberikan kaji suluk
secara keseluruhan sampai kepada tingkat yang paling tinggi, sedangkan kami
(Rangkayo sati) angkatan yang lama-lama sudah puluhan kali ikut suluk belum
lagi mencapai yang demikian. Sungguh hebat dan luar biasa sekali yang diterima
dan dialami oleh Ayahanda Guru dan di balik itu tentu Nenek Guru telah
mengetahui dan melihat tanda-tanda bahwa Beliaulah satu-satunya nanti yang akan
menjadi Pewaris Penerima Panji-Panji Silsilah Thariqatullah ’Ubudiyah
Naqsyabandiyah Khalidiyah, setelah Nenek Guru nantinya telah tiada atau berlindung.
Tepat sekali apa yang dikatakan oleh pepatan ”Bukan intan bukan baiduri,
bukan emas dapat dibeli, siapa untung dapat sendiri
”.



Setelah selesai suluk, Ayahanda Guru pun diberi ijasah oleh Nenek
Guru  dan keesokan harinya Beliau bersama murid-murid kembali ke
Bukit Tinggi. Semenjak itu sesuai pula dengan tugas-tugas dan kesibukan
Ayahanda Guru, Beliau sering datang menemui Nenek Guru baik Nenek Guru sedang
berada di Sawah Lunto maupun sedang berada di Buayan. Adakalanya kedatangan
Beliau sebagai ziarah biasa saja dan adakalanya ikut suluk. Kedatangan Beliau
selalu diiringi oleh beberapa murid Beliau.



 




Menjadi Ahli Silsilah Ke-35



Kalau kami tak salah, selama Nenek Guru masih hidup, Ayahanda Guru ada 3
(tiga) kali ikut suluk dengan Nenek Guru dan yang terakhir suluk di Buayan.
Pada suluk yang ketiga kalinya Ayahanda Guru diberi oleh Nenek Guru tentang
asal muasal Thariqat Naqsyabandiyah yang diterima oleh YMM Nenek Guru dari
Maulana Saidi Syekh Husin yang mendampingi Maulana Saidi Syekh Ali Ridho di
Jabal Qubaisy Mekkah pada tahun 1918 dan langsung pula oleh Ayahanda Guru
diizinkan untuk mendirikan suluk. Nenek Guru menumpahkan seluruh isi dada
Beliau ke dalam dada Ayahanda Guru sebagaimana Rasulullah SAW menumpahkan
seluruh isi dadanya kepada dada Saidina Abu Bakar Siddiq. Resmilah Ayahanda
Guru menjadi pewaris ilmu Rasulullah sebagai Ahli Silsilah ke-35 yang telah
diberitakan dalam hadist Nabi. Kali ketiganya kami mengetahui dan
mempersaksikan keistimewaan yang diberikan oleh Nenek Guru kepada Ayahanda Guru
dan cukup kuat hasil renungan kami sebagaimana yang kami uraikan di atas. Kali
pertama Ayahanda Guru mendirikan suluk di Aur Tajungkang Bukit Tinggi tahun
1953 pada waktu Nenek Guru masih hidup dan dibantu oleh Nenek Guru dengan 2
(dua) orang khalifahnya, yakni :



1.      Alm. Engku Nuruda (Mertua Haji
Hasan Hasyim).



2.      Alm. Kamu Mantari Ameh (semasa
agresi Belanda kedua 19-12-1948 patuh dan setia mengikuti Nenek Guru sebagai
khadam dan menjadi kuda tunggangan Nenek Guru selama berdarurat, karena Nenek
Guru terpaksa pindah-pindah tempat naik bukit turun bukit selalu Nenek Guru
dalam dukungannya, karena fisik dan usia Nenek Guru tidak mengizinkan lagi
untuk jalan sendiri).



Betapa banyaknya murid Nenek Guru yang telah dituakan dan yang telah
diangkat jadi khalifah jauh sebelum Ayahanda Guru bertemu dengan Nenek Guru,
satu pun belum ada yang diijinkan Nenek Guru untuk memimpin suluk, hanya baru
diizinkan menurunkan thariqat, memimpin wirid khatam tawajuh di tempat alkah
masing-masing yang telah mempunyai alkah, dan mohon ampun, bukan karena Penulis
menonjolkan diri hanya sekedar memenuhi sejarah yang berkaitan dengan risalah
ini. Selain dari Ayahanda Guru, kami pun telah diijinkan untuk mendirikan suluk
serta dilengkapi dengan segala sesuatu yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas
berat tersebut. Pemberian ijin ini terjadi pada tahun 1947 di saat kami
menerima ijasah dari Nenek Guru pada tanggal 18 Ramadhan tahun 1367 H. Kemudian
Ayahanda Guru sepeninggal Nenek Guru, pindah ke Medan dan membuka Alkah sendiri
dengan modal Nol, sampai mencapai sukses besar dan perkembangan yang pesat
sekali sebagaimana yang telah kita persaksikan bersama dan yang telah banyak
mempunyai murid yang terdiri dari berbagai macam tingkatan dan golongan sejak
dari tingkatan yang tertinggi dan mempunyai banyak alkah yang tersebar di
seluruh pelosok tanah air bahkan sampai ke luar negeri.



Kira-kira awal tahun 1954 kami satu rombongan dengan mencarter sebuah bus
dibawa oleh Nenek Guru dari Sawah Lunto untuk ziarah ke Hutapungkut di Bukit
Tinggi. Ayahanda Guru diajak ikut serta oleh Nenek Guru. Selama kami di
Hutapungkut, Nenek Guru berkata pada kami ”Nanti sepeninggal ayah telaih
tiada, kalian boleh langsung ziarah ke makam Nenek kalian
”. Rupanya Nenek
Guru sudah mulai sakit-sakitan dan tak berapa lama sesudah itu Nenek Guru
berangkat meninggalkan Sawah Lunto menuju Padang, istirahat beberapa hari di
Purus I di rumah Sdr. B. Rajo Bujang (sekarang bernama H. Abdul Majid dan masih
hidup). Kemudian Nenek Guru terus ke Buayan dan sakit Nenek Guru bertambah
parah juga, sehingga pada hari Rabu tanggal 7 April 1954 jam 1.05 WSU (+ 13.35
WIB) Nenek Guru dipanggil oleh Allah YME dan atas amanatnya Beliau dimakamkan
di Tanah Dingin Buayan, Kecamatan Batang Anai, Kecamatan Padang/Pariaman
Propinsi Sumatera Barat. Sepeninggal Nenek Guru telah tiada sebelum Ayahanda
Guru pindah ke Medan. Beliau selalu datang ziarah ke Kubang Sirakuk Sawah Lunto
dan ke Tanah Dingin Buayan. Setelah Beliau pindah ke Medan, terakhir Beliau
ziarah ke Kubang Sirakuk Sawah Lunto tahun 1957 dengan sedan dan didampingin
oleh Bp. H. Nurdin dan Bp. Hamdan Siregar, menginap semalam di tempat Nenek
Guru dan besoknya Beliau kembali ke Medan dan saya ikut mengantar Beliau sampai
ke Muara Sipongi. Setelah itu Beliau ziarah ke Tanah Dingin Buayan saja 3 atau
4 kali dalam setahun di luar yang isidentil.



Ayahanda Guru sangat disiplin memegang amanat, segala sesuatu yang Beliau
terima dari Nenek Guru berupa ilmu, nasehat dan petunjuk, pengajaran dan
lain-lain, Beliau amalkan dengan sungguh-sungguh, seperti pepatah mengatakan ”Setitik
dilautkan, sekepal digunungkan, digenggam erat didudur mati, siang
dipertongkatkan, malam diperkalang, hidup dipakai mati ditomapang
”, dan
kepada Ayahanda Guru berlaku apa yang dijanjikan Tuhan ”Amalkan oleh kamu
ilmu yang telah sampai kepada engkau, mewarisi Aku ilmu yang belum engkau
ketahui
”.



Seperti yang pernah diucapkan oleh Nenek Guru bahwa ilmu laduni yang
dihunjamkan Allah SWT kepada Sirr hati hamba-Nya yang dikasihi-Nya dan Ayahanda
Guru berhasil dengan gilang-gemilang betul-betul Beliau sebagai Penegak
dan Pewaris Silsilah yang ke-35
.



Berbahagialah kita semuanya di dunia dan di akhirat, baik yang dekat maupun
yang jauh di mana saja kita berada yang selalu mengadakan kontak dengan Beliau.
Amin … Amin Ya Rabbal ’Alamin … … … …



Demikianlah ala kadarnya yang dapat saya sumbangkan kepada teman-teman
seperjuangan dan seperamalan saya dan akhirul kalam kembali saya mengucapkan
”Astaghfirullah Al ’Azim” yang sedalam-dalamnya dan diiringi dengan Laa Haula
wa laa Quwwata Illa billaahil ’Aliyil ’Azim serta saya tutup dengan mohon ampun
yang sebesar-besarnya ke haribaan Ayahanda Guru atas salah dan janggalnya.
Semoga Ayahanda Guru berkenan bermurah hati mengabulkannya.



Alhamdulillaahirobbil ’Alamiin ………………….



Wabillahitaufik Wal Hidayah



Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh ……………



 



Buayan, 08 Desember 1986



(Anwar Rangkayo Sati)







  



Penutup dari Sufi Muda :



Napak Tilas Ayahanda Guru Prof. Dr. Saidi Syekh
Kadirun Yahya MA. M.Sc
yang kami ambil dari tulisan Menantu Saidi Syekh
Muhammad Hasyim Al-Khalidi ini semoga bermanfaat untuk kita semua para penempuh
jalan kebenaran teristimewa kepada murid-murid Beliau dan juga kepada cucu
murid Beliau (orang yang berguru kepada murid/penerus Beliau)  yang
sampai saat ini masih terus berzikir memuja Allah, menyebarkan salam,
menebarkan Rahmat Allah di seluruh penjuru dunia.



Kisah hidup dan perjuangan sampai Beliau berlindung kehadirat Allah SWT
pada tanggal 9 Mei 2001 di Surau Qutubul Amin Arco tidak sempat kami ceritakan
disini karena sudah ada disebutkan dalam berbagai buku Beliau.



Sekarang bukan saatnya lagi memperdebatkan siapa yang paling berhak sebagai
penerus Beliau yang menyandang gelar Ahli Silsilah-36. Pada suatu kesempatan
Beliau pernah berfatwa sebagaimana yang sering di kutip oleh putra Beliau Buya
H. Iskandar Zulkarnain SH : ”Seorang Saidi Syekh bisa mencetak 4 orang
Saidi Syekh
”.



Walaupun Beliau telah tiada, namun Arwahul Muqadasah Rasulullah yang ada
dalam dada Beliau akan tetap abadi membimbing murid-muridnya sampai akhir
zaman. Beliau akan selalu datang dalam zikir dan mimpi. Mimpi dengan seorang
Guru Mursyid adalah benar dan setan tidak akan bisa menyerupai wajah Guru
Mursyid yang Kamil Mukamil. Fatwa Beliau kepada salah seorang muridnya ketika
menanyakan yang mana paling benar Beliau berkata : ”Arco Benar, Panca
Budi Benar dan Batam juga benar, silahkan kalian ikuti yang mana cocok bagi
kalian karena kesemuanya bermuara pada yang SATU
”.



Saudaraku, kalau hanya memandang dari kacamata kesurauan dunia ini terlalu
luas, masih banyak tempat yang belum di singgahi Kalimah Allah. Mari kita
satukan energi untuk membesarkan nama-Nya. Seorang Wali Allah akan tetap harum
namanya walaupun semua manusia mencaci, walaupun semua kita tidak mau
berdakwah. Akan tetapi sangat disayangkan kalau kita tidak menyiapkan diri
untuk dilewati rahmat dan karunia-Nya.



Salam cinta dan sayang untuk semua yang membaca tulisan ini, Guru kita
selalu berpesan untuk menghindari fitnah, gunjing dan caci maki karena itu akan
mengurangi amal ibadah kita. Masih ingat pesan-pesan sejuk dari Guru kita,
”Jangan kau jelek-jelekkan saudaramu, belum tentu engkau lebih baik dari yang
kau jelekkan”.



Menyatakan diri sebagai murid wali sangat mudah, tetapi menjalankannya
sungguh sangat sulit. Maqam kita terkadang sudah melewati maqam Khalifah bahkan
malaikatpun terkadang iri melihat kita. Tapi sayangnya zikir La Thaif sebagai
zikir sangat dasar  belum duduk dengan benar dalam qalbu sehingga
tanpa sadar setan bersemayam dengan nyaman di sana. Saling menyalahkan
menandakan 7 tempat bersemayamnya Iblis belum selesai di bongkar.



Penutup tulisan ini saya mengutip sebuah lagu yang dibawakan oleh Bimbo yang
kalau saya menyanyikan lagu ini terkenang suatu masa indah, tanpa terasa air
matapun mengalir….



Rindu kami padamu ya Rasul



Rindu tiada terperi



Berabad jarak darimu ya Rasul



Serasa dikau disini



Cinta Ikhlas-Mu pada manusia



Bagai cahaya Surgawi



Dapatkah Kami Membalas Cintamu



Secara Bersahaja…



Dan ada sebuah syair lagu yang sering terdengar di surau :



…Kalau pergi bawalah kami, kami ini turut berbhakti (2x)



Meneluri pelosok negeri, menyebarluaskan kalam ilahi (2x)



Amin Ya Allah, Salam Ya Rasulullah



Terimakasih tidak terhingga selalu kita ucapkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat yang luar biasa dengan diperkenalkannya kita
kepada  salah seorang kekasih-Nya.



Semoga kita diberi kekuatan untuk bisa terus memuja dan mengabdi
kepada-Nya.



Amien Ya Rabbal Alamin..



 



 



 Selesai



 Sumber



 


Baca juga

Posting Komentar