Kronik Nusantara tentang Kerajaan Islam Pertama di Jawa (9)

“Tidak sebatas membidani lahirnya Majapahit dan mendirikan Kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa, keturunan Arya Wiraraja juga menjadi nenek moyang dari sejumlah adipati-adipati dan bupati-bupati beragama Islam – yang menjadi penguasa-penguasa lokal di sejumlah wilayah di Jawa pada rentang periode sejak kejatuhan Majapahit, masuk era kolonial Belanda, dan bahkan hingga masa awal kemerdekaan.”

Tewasnya Ranggalawe oleh serbuan pasukan Majapahit, menyisakan luka serius di hati para pendiri kerajaan ini. Menurut Agus Sunyoto, setelah terbunuhnya Ranggalawe dalam pertempuran di Tambak Beras, Arya Wiraraja menagih janji Raden Wijaya atas wilayah timur kerajaan, yaitu wilayah Juru Lumajang warisan ibunya, Naraya Kirana, putri Sri Prabu Siminingrat Jayawisynuwardhana. Raden Wijaya mengabulkan permohonan Arya Wiraraja, dia pun memberikan wilayah timur yang disebut Lamajang Tigang Juru (tiga juru yang meliputi wilayah Lamajang, Bayu, dan Wirabhumi) dengan ibu kotanya Lumajang, di mana Arya Wiraraja dan keturunannya akan menjadi raja di wilayah tersebut.[1]

Ketika Arya Wiraraja mangkat, praktis tahta Lumajang diduduki putra keduanya, Arya Menak Koncar, adik Arya Adikara Ranggalawe. Arya Menak Koncar menggunakan gelar Abisheka Sri Nararya Wangbang Menak Koncar. Kelak, tokoh yang letak makamnya hanya berjarak sekitar 3 atau 4 meter di sebelah makam Arya Wiraraja itu, digantikan oleh putranya yang bernama Arya Wangbang Pinatih, yang juga seorang Muslim.

Pada saat Mahapatih Mangkubumi Pu Gajah Mada menjalankan politik persatuan Nusantara, meneruskan gagasan Sri Kertanegara, putra-putra raja Lumajang – Arya Damar dan Arya Pinatih – ikut dalam ekspedisi penaklukan ke Bali. Begitulah awal mula kisah keturunan Arya Wiraraja tinggal di Bali.


Arya Wangbang Pinatih sendiri sebagai pengganti Arya Wangbang Menak Koncar sewaktu mangkat diganti oleh Arya Wangbang Pinatih II. Menurut Agus Sunyoto, kisah lama dari historiografi mengenai tokoh Muslimah kaya raya asal Gresik bernama Nyai Ageng Pinatih agaknya memiliki kaitan erat dengan Raja Lumajang Arya Pinatih.[2] Dalam sejarahnya, Nyai Ageng Pinatih dikenal sebagai ibu angkat Sunan Giri. Dia juga merupakan murid dari Syeikh Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Ampel. Di samping sebagai saudagar yang kaya raya, dia juga diberi kepercayaan menjabat sebagai syahbandar atau penguasa pelabuhan Gresik oleh Raja Majapahit.[3]

Namun kisah tentang sejarah kerajaan Lumajang ternyata tidak berlangsung lama. Menurut Agus Sunyoto, silsilah raja Lumajang sebagai kerajaan berdaulat, hanya berhenti sampai raja kelima. Setelah raja Lumajang keempat (Arya Wangbang Pinatih II) mangkat, dia digantikan oleh Arya menak Sumendi. Saat Arya Menak Sumendi berkuasa, di Majapahit terjadi pergantian kepemimpinan, di mana menantu Hayam Wuruk bernama Wikramawardhana, akhirnya dinobatkan sebagai Raja Majapahit. Secara kebetulan, Sri Prabu Wikramawardhana berasal dari Paguhan Lumajang. Dia kemudian menyatukan Lamajang Tigang Juru ke dalam wilayah Majapahit. Oleh sebab itu, secara otomatis kedudukan Juru atau Raja kemudian berubah menjadi Adipati, yang bermakna raja bawahan Majapahit. Demikianlah Raja Lumajang ke 5 ini (Arya menak Sumendi), di kemudian hari lebih dikenal sebagai Adipati Lumajang.[4]


Sementara itu, saat Arya Menak Sumendi mangkat pada masa Rani Suhita berkuasa di Majapahit, dia digantikan oleh Adipati Lumajang Arya Tepasana. Menurut Agus Sunyoto, Adipati Lumajang Arya Tepasana memiliki tiga orang putra dan tiga orang putri. Putrinya yang bernama Nyimas Ayu Tepasari diperistri oleh Sunan Gunung Jati. Dan dari perkawinan tersebut, lahirlah Pangeran Ratu yang kemudian menurunkan Sultan-Sultan Cirebon.

Adapun Putri bungsu Adipati Lumajang Arya Tepasana yang bernama Nyimas Ayu Wuruju diperistri Raden Mahmud Pangeran Sepanjang, yang tidak lain Putra Sunan Ampel. Dari pernikahan ini kemudian lahirlah Nyai Wilis, yang diperistri oleh Raden Kusen Adipati Terung, putra Arya Damar penguasa Palembang. Pada tahap selanjutnya, dari pernikahan antara Raden Kusen Adipati Terung dengan Nyai Wilis tersebut menjadi salah satu silsilah utama yang menurunkan Kesultanan Palembang.[5]


Lebih jauh, menurut Agus Sunyoto, dari pernikahan Raden Kusen Adipati Terung dengan Nyai Wilis turun pula silsilah sejumlah adipati-adipati dan bupati-bupati beragama Islam – yang menjadi penguasa-penguasa lokal di sejumlah wilayah di Jawa pada rentang periode sejak kejatuhan Majapahit, masuk era kolonial Belanda, bahkan hingga masa awal kemerdekaan. [6] (AL)

Bersambung ke:
 


#GresikBaik
#infogresik
#Gusfik

Baca juga

Posting Komentar