KH ABDUL HANNAN MA’SHUMPendiri dan Pengasuh Pesantren Fathul Ulum Kwagean Pare Kediri


Bagi banyak orang, Kwagean adalah sebuah legenda. Bermula dari sebuah dukuh yang tidak dikenal menjadi ‘jujugan’ mondok santri dan berbagai kepentingan umat dari dalam dan luar desa, kabupaten, propinsi dan pulau. Bermula dari seorang santri sederhana, dari keluarga biasa, yang gigih menuntut ilmu meskipun dalam segala keterbatasan, terutama ekonomi.

Romo Yai saat muda mondok di beberapa tempat, dan yang paling lama adalah di Kencong Pare, berguru pada KH Zamroji, yang juga seorang Mursyid Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah. Disamping tekun mempelajari ilmu-ilmu syariat, Romo Yai muda juga melakukan tirakat lahir dan batin. Tirakat lahir ditunjukkan dengan ketabahan menjalani berbagai kekurangan secara materi. Sangu dari rumah yang tidak seberapa beliau carikan tambahan dengan menjadi ‘buruh’ menulis, atau mencatatkan teman-teman santri. Sedangkan tirakat batin dilakukan dengan menjalani berbagai macam riyadlah terutama puasa ngrowot. Dalam suatu kesempatan beliau mendapat teguran dari sang Guru yang mendapati beliau dalam momentum lebaran ikut bersilaturrahim ke sana ke mari grudak-gruduk bersama teman-teman. Guru ngendika, “Kamu jangan ikut grudak-gruduk bersama teman-teman kamu,  tapi menyendirilah dan mandirilah”. 

Masih dengan segala keterbatasan, oleh Guru beliau didhawuhi untuk menikah. Maka pernikahanpun berlangsung.  Namun rupanya keterbatasan materi dan orientasi hidup beliau kurang diterima dalam keluarga mertua, sehingga beliau memilih ‘hijrah’ dan tinggal menempati  area tanah sekitar masjid Kwagean. Di tempat ini Romo Yai mendirikan sebuah rumah kecil sangat sederhana berdinding anyaman bambu. Meskipun demikian rumah kecil itu beliau sekat menjadi 2 bagian, untuk keluarga beliau dan untuk santri. Seiring waktu santri yang datang mengaji dan mukim bertambah, beliau mulai membangun rumah sendiri. Dan seiring waktu, usaha mata pencaharian yang semula hanya beternak ayam dalam jumlah kecil terus berganti dan berkembang. Kini beragam usaha ekonomi beliau buka dan dijalankan oleh santri, baik di sektor pertanian, peternakan, kuliner maupun investasi. Aset lahan demi lahan tanah di dalam dan di luar Kwagean juga semakin luas dan banyak. Secara bergurau orang memberi julukan kepada Romo Yai sebagai 'Tuan Tanah'.

Mengiringi pembangunan pondok dan pembebasan lahannya, berbagai jalan diberi kemudahan oleh Allah. Sebuah pohon durian milik beliau di belakang rumah (setelah dipasangi rajah) berbuah lebat dan melebihi kelaziman, sehingga memberi kontribusi besar dalam awal pembangunan pondok dan pembebasan lahan. Dan yang aneh, saat kedua hal tersebut  selesai, produksi pohon itu menurun sangat drastis. Waktu demi waktu santri berdatangan. Kebanyakan mereka adalah santri yang telah mondok di pesantren-pesantren lain, dan datang ke Kwagean terutama untuk mengaji kitab-kitab besar dan atau mengaji Hikmah. Tidak jarang usia santri-santri itu lebih tua dibanding usia Romo Yai, dan apalagi ibu Nyai.

Romo Yai adalah sosok yang sangat santun dan rendah hati, dengan sangat terlihat. Padahal beliau berlatar belakang ilmu Hikmah yang  mumpuni. Kepada santri-santri beliau sendiri, beliau mamanggi dengan sebutan Pak/Kang ,Saat beliau berbicara pada mereka beliau menggunakan bahasa Jawa kromo. Setiap orang yang berhubungan pasti terkesan dengan keramahan dan kesantunan beliau. Termasuk para tamu yang datang membawa berbagai permasalahan untuk beliau bantu solusinya.

Ketekunan belajar Romo Yai terus berlanjut sekalipun sudah menjadi ‘kiai besar’. Beliau masih berkenan ngesahi (membubuhkan makna gandhul) pada kitab-kitab milik beliau, agar siap dibaca sewaktu-waktu. Oleh karena itu, koleksi kitab ‘bermakna’ beliau relatif lengkap. Hanya orang-orang tertentu saja yang berani pinjam.
Sedari awal Romo Yai memilih hanya mengasuh pesantren dan tidak kerso berkecimpung dalam organisasi masyarakat, organisas politik, apalagi ngurus ini-itu di kantor-kantor dinas. Meskipun demikian komitmen beliau pada organisasi Nahdlatul Ulama tidak mungkin diragukan. Beliau memberi kesempatan luas bagi jam’iyah ini menyelenggarakan acara dan kegiatan di Kwagean dan melibatkan santri-santri. 

Sebagai kiai yang memilih ‘jalan sunyi’, ada pengalaman yang takkan terlupakan, sebagai bentuk pembelajaran bagi saya dan pengurus. Saat itu Pondok hendak memasang sambungan telpon. Rapat Pengurus merencanakan akan memasang 2 pesawat, di kantor pondok dan di ndalem. Saya yang kebetulan menjadi PJ urusan itu matur kepada Romo Yai dengan sangat hati-hati. Meski sudah berhati-hati matur, saya masih kaget juga dengan respon beliau. Dalam bentuk Istifham Inkari dan nada agak tinggi beliau ngendika, ”Pak Umar, kula badhe tangklet rumiyin; ginanipun telpon niku napa”. Dengan agak grogi saya jelaskan alasan-alasannya. Yang paling utama adalah untuk berkomunikasi dengan penerbit-penerbit atau toko kitab di Surabaya di mana seringkali Pengurus kerepotan dihubungi atau menghubungi. Padahal kebutuhan akan kitab-kitab tersebut tinggi dan besar. Tidak saya maturkan kemungkinan keluarga santri yang di rumah bisa menghubungi anaknya, karena yang demikian menyalahi prinsip ‘jalan sunyi’. Akhirnya beliau menutup, ”Monggo, kantor saged dipun pasangi, tapi griyo mboten usah”.

Dalam hal penampilan, Romo Yai terbilang sangat sederhana. Orang yang hanya mendengar nama beliau tanpa pernah melihat langsung seringkali terkecoh. Seiring dengan ‘jalan sunyi’, beliau juga menjalankan perilaku khumul  (menyamarkan diri supaya tidak terkenal). Beliau selalu menghindari berurusan dengan media masaa, dan seandainya ada urusan dengan media, beliau mendelegasikan wewenang kepada Pengurus. Baik saat masih mondok maupun ketika sudah boyong, saya tidak pernah menyaksikan beliau mengenakan asesori pakaian keulamaan yang lengkap. Dan tentu saja Romo Yai tidak pernah tampak mengenakan celana sebagai pengganti sarung.

Adamahullahu majdah wa nafa’ana bi ulumihi wa afadla alaina min barakatih. Amin.

Baca juga

Posting Komentar