Maulid Nabi, Tahun Gajah, dan Wabah Cacar yang Menggagalkan Abrahah



Legenda Arab kuno punya sebuah cerita yang dramatis. Alkisah, seorang gubernur di jazirah bagian selatan merancang rencana ambisius. Ia, penganut Kristen mazab Miafisit yang saleh, adalah perwakilan penguasa Kerajaan Aksum untuk mengepalai vasalnya di Yaman. Sang gubernur menginginkan tempat ibadah yang ia bangun di Sana’a, katedral Al-Qalis, menjadi satu-satunya tujuan para peziarah yang datang ke semenanjung Arab. Ia mengklaim gereja tersebut sebagai rumah Tuhan yang paling murni dari campur tangan kaum pagan.

Halangan utama bagi rencana besarnya itu terletak 1.000 km dari Sana’a ke arah barat laut. Di situ, di kota niaga bernama Makkah, berdiri sebuah bangunan kuno berbentuk kubus yang telah menjadi tempat tujuan para peziarah spiritual selama berabad-abad. Orang-orang mengenalnya sebagai Ka'bah. 



Abrahah, nama sang gubernur, berkehendak melenyapkan “kuil” pesaing itu agar para peziarah berpaling ke Al-Qalis. Ia pun menyiapkan ribuan pasukan untuk merobohkan Ka'bah. Pasukannya diperkuat beberapa ekor gajah (sebagian sumber menyebut hanya satu ekor) untuk mempermudah penghancuran bangunan. Maka pada suatu pagi yang cerah, mereka berbaris menuju Makkah dengan dipimpin langsung oleh sang gubernur.

Sementara itu derap pasukan Abrahah yang sudah berminggu-minggu dalam perjalanan terdengar hingga kota Makkah. Abdul Mutalib, seseorang yang dihormati dari klan Hasyim yang bertugas sebagai juru kunci Ka'bah, mulai merasa was-was. Dari lokasi peristirahatan pasukan, Abrahah mendatangi Mutalib dan menyatakan bahwa ia hanya ingin menghancurkan Ka'bah, bukan menduduki kota. Mutalib dan jajaran elite Makkah tentu saja menolaknya. 



Niat Abrahah pun semakin bulat. Ka'bah mesti segera diratakan dengan tanah.


Mutalib yang hampir putus asa karena kekuatan Makkah tidak mungkin menandingi pasukan Abrahah, hanya bisa berdoa dan meminta penduduk bersembunyi di perbukitan. Mutalib pun memanjatkan permohonon kepada sang penguasa bumi dan langit: Jika Ka'bah benar-benar rumah Tuhan, tentara Abrahah tak akan bisa menghancurkannya.


Doa Mutalib kemudian benar-benar terkabul. Sang gubernur gagal menyerbu Ka'bah. Legenda melanjutkan bahwa kegagalan tersebut disebabkan oleh datangnya ribuan burung yang melempar kerikil-kerikil panas ke arah pasukan Abrahah. Mereka semua, termasuk Abrahah dan gajah-gajahnya, mati dalam keadaan tubuh melepuh. Ka'bah pun selamat. Burung-burung itu dipercaya dikirim oleh Tuhan untuk melindungi “rumah”-Nya.

Orang-orang Makkah menganggap penyerbuan Abrahah sebagai peristiwa penting. Mereka mengenangnya sebagai “Perang Gajah” meski peperangan sebenarnya tidak pernah terjadi. Betapa melekatnya Perang Gajah dalam memori penduduk Makkah, mereka menjadikan peristiwa itu sebagai titi mangsa tersendiri: tahun serangan Abrahah dikenal dengan nama Tahun Gajah. Pada warsa itulah, sebagaimana diyakini seluruh umat Islam, Nabi Muhammad dilahirkan.


Historisitas Serangan Abrahah

Kisah Abrahah di atas diriwayatkan secara panjang-lebar oleh Ibn Ishaq (704-767) dalam Sirah Rasulullah yang diselesaikan sekitar tahun 767. Ibn Ishaq adalah sejarawan yang tekun mengumpulkan kisah-kisah hidup Muhammad dari berbagai sumber dan kitab karyanya itu dianggap sebagai biografi pertama sang nabi. Cerita Abrahah juga dikaitkan kepada surah al-Fil (Gajah) di Al-Qur’an yang mengisahkan tentang tindakan Tuhan terhadap pasukan bergajah dengan mengirimkan “burung yang berbondong-bondong”. 



Sirah Rasulullah kemudian menjadi rujukan banyak orang, bahkan hingga hari ini, guna mempelajari sejarah hidup Nabi Muhammad. 



Ketika kajian tentang Islam mulai ditekuni secara akademik oleh para orientalis di akhir abad ke-19, kitab tersebut juga dijadikan sebagai salah satu referensi untuk menggali sejarah awal Islam dan kehidupan Nabi Muhammad. Pada 1955 Sirah Rasulullah diterjemahkan sekaligus diberi anotasi dengan cemerlang oleh Alfred Guillaume, ahli islamologi asal Inggris, di bawah judul The Life of Muhammad: A translation of Ibn Ishaq's Sirat Rasul Allah.  



Sejak itu Sirah Rasulullah bisa dipelajari oleh audiens yang lebih luas. Penafsiran-penafsiran terhadap historisitas Perang Gajah pun mulai dilakukan baik oleh para sarjana Barat maupun ilmuwan Islam.

Gabriel Said Reynolds dalam The Emergence of Islam: Classical Traditions in Contemporary Perspective (2012) punya perspektif menarik atas kisah Abrahah. Hingga bukunya ditulis, menurut guru besar studi Islam Universitas Notre Dame, AS itu, tidak ada sumber sejarah dari luar tradisi Islam yang menyebut tentang serangan Abrahah terhadap Makkah. Sumber tertua yang menyinggung soal itu hanyalah Sirah Rasulullah. 



Ia pun melanjutkan hipotesisnya bahwa pengaitan surah al-Fil dengan kisah Abrahah kemungkinan dilakukan para penafsir Al-Qur’an atau ilmuwan muslim pasca-Muhammad. 



“Keseluruhan kisah [Abrahah] tampaknya telah ditulis untuk menjelaskan Al-Qur’an surah 105 (al-Fil) … Barangkali ilmuwan-ilmuwan Muslim belakangan begitu saja melekatkan nama Abrahah yang sudah terkenal ke dalam cerita yang mereka tulis untuk menerangkan ayat tentang ‘Orang-orang Bergajah’ (ashab al-fil) ini,” catat Reynolds. 



Sementara sejarawan Francis E. Peters lebih tidak skepstis dibanding Reynolds dalam memandang kisah Abrahah. Di buku Muhammad and the Origins of Islam (1994: 84), Peters menyebut “not entirely implausibly” (tidak sepenuhnya tak masuk akal) untuk serangan Abrahah terhadap Makkah. Ia bahkan mengutip dengan sangat panjang bagian-bagian penting dari Sirah Rasulullah. 



“Salah satu tradisi mengaitkan [kelahiran Nabi Muhammad], tidak sepenuhnya tak masuk akal, dengan sebuah peristiwa yang mengguncang Makkah pada masa itu, [yakni] serangan terhadap kota suci dari Yaman,” tulis Peters.


Epidemi Cacar

Perspektif menarik juga datang dari Leopold Weiss, jurnalis kelahiran Ukraina yang setelah masuk Islam mengubah nama menjadi Muhammad Asad, dalam The Message of the Qur’an (1980), sebuah buku tafsir dan terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Inggris. Barangkali interpretasinya agak kontekstual dengan situasi hari-hari ini.


Bagi Asad, batu sijjil yang dimaksud dalam surah al-Fil bukan benar-benar batu yang panas. Ia merupakan alegori dari “epidemi yang sangat mendadak” yang ditimpakan Tuhan kepada Abrahah dan pasukannya. Epidemi tersebut, seturut pelacakan Asad dari sumber-sumber tradisional Islam, adalah wabah cacar. 



Pendapat Asad ini kemudian diperkuat oleh penelitian tiga ilmuwan ahli sejarah epidemiologi (John S. Marr, Elias J. Hubbard, dan  John T. Cathey) dalam makalah bertajuk "The Year of the Elephant" (2015, PDF). Tiga peneliti ini menganalisis ayat 3, 4, dan 5 dalam surah al-Fil yang mengisahkan burung-burung pembawa batu panas yang menyebabkan orang-orang "seperti daun-daun yang dimakan (ulat)".

Mereka mengutip deskripsi Ibn Ishaq dalam Sirah Rasulullah yang menceritakan proses sekarat Abrahah dan pasukannya setelah mereka gagal menyerang Ka'bah: 



"Saat mereka [Abrahah dan pasukannya] mundur, mereka tumbang di pinggir jalan, sekarat dengan menyedihkan dengan lubang-lubang air [di kulit mereka]. Tubuh Abrahah tersiksa. Dan ketika mereka membawanya pergi, jari-jari Abrahah lepas satu per satu. Di tempat jari-jari itu berada, terdapat luka yang mengerikan dengan nanah dan darah." 



Berdasarkan penggambaran itu, dengan diperkuat bukti-bukti medis modern mengenai ciri-ciri penyakit cacar, Marr dan kawan-kawan mengajukan hipotesis:

"Metafora 'seperti daun-daun yang dimakan (ulat)' [dalam surah al-Fil] telah ditafsirkan dengan mengacu kepada tunggul yang tersisa di ladang tandus atau helai-helai rusak yang terlihat pada kotoran hewan—keduanya merupakan interpretasi yang menyiratkan mayat-mayat melepuh dan membusuk. Gambaran ini memperkuat deskripsi [Ibn Ishaq] sebelumnya tentang kematian dan sekarat [akibat cacar]." 



Marr dan kawan-kawan kemudian menganalisis bahwa berlandaskan asal zoonosis, distribusi geografis, dan presentasi klinis yang mereka dapatkan dari catatan-catatan sejarah yang berserakan, jenis cacar yang menyerang Abrahah dan pasukannya adalah Variola major. Jenis cacar ini memang sangat berbahaya dan mematikan. Di tahun-tahun setelah serangan Abrahah, wabah cacar macam ini juga menyerang wilayah pesisir Mediterania dan Afrika utara. 



"Jelaslah bahwa suatu jenis wabah telah melumpuhkan suku Aksum selama pengepungan Makkah pada tahun 570. Bukti-bukti yang berserakan mendukung [bahwa mereka terkena] cacar [...] Wabah Makkah memang kecil dibandingkan dengan epidemi di kemudian hari, tetapi secara historis penting [...] Pada tahun yang sama, seorang bayi dilahirkan—Nabi Muhammad (shalallahu 'alayhi wa sallam)," ungkap Marr dan kawan-kawan. 



Jika Abrahah dan pasukannya berhasil menaklukkan Makkah, kemungkinan besar mereka akan melakukan tindakan serupa dengan yang mereka perbuat di Himyar empat dekade sebelumnya— membunuh perempuan serta memperbudak tawanan—dan wajah dunia barangkali tidak akan seperti sekarang ini. Kota Makkah, sekaligus sejarah Islam awal, telah "terselamatkan" oleh wabah cacar.

tirto

#GresikBaik
#infogresik
#Gusfik

Baca juga

Posting Komentar